BERPOLITIK YANG SANTUN

BERPOLITIK YANG SANTUN

Oleh Muhammad Julijanto

Ketika bicara politik, maka yang terbayang adalah perebutan kekuasaan, jabatan dan pengaruh dalam kontestasi. Perilaku politik menyebabkan gerakan yang dilakukan seseorang untuk memperoleh dukungan seluas mungkin dari masyarakat. Cara meraih dukungan politik dilakukan dengan berbagai cara, dari pendekatan personal, pendekatan kelompok berpengaruh, mempengaruhi simpul-simpul kunci tokoh masyarakat yang mempunyai kedekatan masa, hingga jalur-jalur bisnis dan lini kehidupan menjadi pundi-pundi suara dalam pemilu.

Berpolitik yang mencerahkan, tindakan politik jangan absolut yang menjadikan kita gelap mata, hanya memandang pakai kacamata kuda fokus satu arah, berilah ruang kebebasan dan kemerdekaan dalam diri kita, sehingga politik tidak menjadi belenggu yang membelit kita, menjadi tidak merdeka dan terkerangkeng dengan dukungan politik yang mutlak, itu kita tentukan di bilik suara saja…

Sikap moderat bisa menempatkan sesuatu pada posisi yang pas dan tidak berlebihan hingga meniadakan yang lain dan memutlakkan tindakan kita. Politik hanya sebagai mekanisme menentukan siapa yang diberi amanat untuk mengelola segala sumber daya bangsa ini menjadi berkah bagi kita semuanya. Bukan hanya menjadi berkah yang mendukung yang menang dan menjadi laknat bagi yang kalah. Justru menjadi tanggung jawab yang menang untuk memberikan kesyukuran atas prestasinya dengan melayani semua warga negara tanpa diskriminasi. Dimana sejarah yang telah lalu meninggalkan nuktah, beberapa daerah yang dukungan politiknya minim, menjadi terlantar dalam urusan kesejahteraan dan pemerataan pembangunan  bahkan mereka menjadi kelompok masyarakat yang terdiskriminasi dalam pelaksanaan pembangunan, rehab-rehab prasarana tidak tersentuh, sehingga terjadi kesenjangan sosial yang berdampak munculnya gerakan sparatis, gerakan sosial yang tidak sehat akibat komunikasi pusat dan daerah tidak berjalan secara wajar dan beradab.

Kita butuh negarawan yang bekerja untuk bangsa dan negara. Bukan pemimpin golongan dan kelompoknya. Itulah pemilih memilih guru bangsa sejati. Kalah dan menang hanya takdir. Dan bukti amanah yang ada di pundaknya. Kekalahan dalam kontestasi pemilu bukan akhir pengabdian, justru menjadi awal pengabdian kepada bangsa dan negara dengan karya yang lain lebih bermanfaat.

Uang politik dan jabatan, menjadi ujian politisi. Ungkapan tidak ada makan siang gratis dalam kamus politik, inilah yang mendorong banyak politisi terjebat dalam jebakan Badman yang menyebabkan terhentinya idealisme perjuangan politik dalam kubangan yang mematikan karier. Inilah tantangan politik bangsa kita.

Untuk dapat berpolitik yang bersih, masalah keuangan harus teratasi secara relatif wajar. Uang memang tidak pernah bisa dikatakan sudah cukup, tetapi para idealis hidupnya bukanlah buat uang. Ia hanya perlu uang sekedar perlu untuk hidupnya. Meminjam petuah Ismail Sunny, dalam biografinya yang berjudul Mencari Keadilan  mengutip pemikir Jerman berujar Dr Schumacher, Small is Beutiful, Study of Economics as if People Matered, yang terbit di London tahun 1976 halaman 251. Adalah berbahaya mencampurkan bisnis dengan politik. Such a mixing normally produces inefficient bussiness and corrupt politics.

Politik itu suci sejatinya, namun dalam praktek seringkali politik itu menjadi kotor, maka kotornya politik harus mendapatkan sentuhan agama yang suci, menginspirasi untuk melakukan perilaku moral dan etika yang santun dan sejuk, daripada dengan akhlak yang tercela, menci-maki, menjelek-jelekkan orang lain, fitnah dan pecah belah masyarakat.

Pilar politik bangsa adalah partai politik dan pers yang bebas dan bertanggung jawab. Sayangnya partai politik sebagai kendaraan menuju perjalanan politik bangsa yang berkeadilan sering ternodai oleh ulang dari elit politik itu sendiri, yang mempelopori perilaku politisi yang high cost berdampak pada perilaku korup. Pers menjadi penyangga kehidupan politik yang adiluhung, masuk juga pusaran kekuasaan yang dibawa oleh elit politik yang mempunyai media, menjadi alat kuatan modal untuk mengeksplore politik sedemikian menjadi komoditi yang hanya menguntungkan para pemodal yang berafiliasi dengan partanya saja. Sehingga ruang publik dipenuhi oleh polutan informasi  diskriminasi yang tidak sehat, tidak berimbang dan cenderung tidak mendidik politik bangsa.

Wajah politik bangsa kembali kepada nalar dan laku politik para elitnya. Bila perilaku elit itu sejuk, damai, dan menjunjung moral dan akhlak yang luhur, maka atmosfir bangsa akan lebih kondusif. Aktor politiklah yang akan memainkan drama lebih fair santun dan beradab. Kita simak dengan arif nasehat begawan sosial Prof Dr H Ahmad Syafi’i Ma’arif yang mengatakan bahwa politisi harus mau meningkatkan kualitas dirinya menjadi seorang negarawan. Seorang negarawan itu memiliki pandangan ke depan untuk kebaikan bangsa, negara dan rakyat (Suara Muhammadiyah, 16-31 Maret 2019, hlm. 13).

Muhammad Julijanto, S. Ag., M. Ag. adalah  Dosen Fakultas Syari’ah IAIN Surakarta. Penulis Buku Agama Agenda Demokrasi dan Perubahan Sosial.