HUKUM ISLAM BERDIMENSI AKHERAT

Hukum Islam Berdimensi Akherat
Oleh Muhammad Julijanto

Suatu ketika ada seorang perempuan Hgamidiyah datang menemui Rasulullah, “Wahai Rasulullah, aku telah berzina, oleh karena itu sucikanlah diriku.”

Pengakuan perempuan itu tidak dihiraukan bahkan Rasulullah menolak pengakuan itu. Keesokan harinya perempuan tersebut datang kmbali menemui Rasulullah sambil berkata, “Wahai Rasulullah, kenapa anada menolak pengakuanku? Sepertinya engkau menolak pengakuan Ma’iz. Demi Allah, sekarang ini aku sedang mengandung bayi dari hasil hubungan gelap itu.” Mendengar pengakuan itu, Rasulullah menjawab, “Sekiranya kamu ingin tetap bertobat, maka pulanglah sampai kamu melahirkan.”

Setelah melahirkan, perempuan itu datang lagi kpeada beliau sambil menggendong bayinya yang dibungkus dengan kain, dia berkata, “Inilah bayi yang telah aku lahirkan. “Beliau lalu bersabda, “Kembali dan susuilah bayimu sampai kamu menyapihnya.”

Setelah memasuki masa sapihannya, perempuan itu datang lagi dengan membawa bayinya, sementara di tangan bayi tersebut ada sekerat roti, lalu perempuah itu berkata, “Wahai Nabi Allah, bayi kkecil ini telah aku sapih, dan dia sudah dapat menikmati makanannya sendiri.”

Kemudian Rasulullah memberikan bayi itu kepada seseorang di antara kaum muslimin dan memerintahkan untuk melaksanakan hukuman rajam terhadap perempuan itu. Begituah Rasulullah mengajarkan bagaimana menegakkan hukum. Kisah yang terdapat dalam hadis riwayat Muslim itu sangat jelas mengajarkan Islam sangat tegas dalam menegakkan hukum namun tetap memanusikan manusia, mengedepankan moral dan aspek sosiologis.

Secara normatif ajaran Islam tidak diskriminatif dalam penegakan hukum dan keadilan. Bahkan menskipun begitu mencintai Fatimah, namun seandainya putrinya mencuri Rasulullah dengan tegas akan memotong tangannya. “Demi Allah,sekiranya Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya akan aku potong tangannya.” Hadis tersebut menunjukkan Rasulullah tidak pilih kasih dalam menegakkan hukum dan keadilan.

Nilai keadilan itu tidak diskriminatif tapi di dalam penegakan keadilan itu ada aspek sosial yang melatarbelakanginya. Keadilan itu tidak hanya legak formal, ketika ada orang bersalah langsung dijatuhi hukuman.

Selama ini penegakkan hukum di Indonesia yang tajam ke bawah namun tumpul ke atas menunjukkan belum tegaknya keadilan. Sebagai contoh selama ini perlakuan hukum terhadap rakyat kecil yang mencuri berbeda dengan koruptor yang mengambil hak rakyat. Padahal, bisa jadi rakyat kecil mencuri karena terjadi diskriminasi ekonomi, sehingga mereka melakukan perbuatan itu untuk bertahan hidup. “Tolok ukur keadilan itu relatif tidak general, tapi harus melihat kasus per kasus. Yang terjadi selama ini penerapan sanksi hukum yang diberikan tidak seimbang. Saat ini dibutuhkan penegak hukum yang menyerap keadilan rakyat.

Aspek legal formal dalam menegakkan hukum perlu diperhatikan, namun tidak itu semata melainkan harus dibarengi dengan pertimbangan lain, yakni aspek sosiologis. Dengan aspek sosiologis munculnya kejatahan dapat digali, apakah ada peran negara yang tidak berjalan secara optimal, sehingga menimbulkan tidak meratanya kue pembangunan ke berbagai penjuru tanah air, bagaiman distribusi ekonomi menyentuh semua lapisan masyarakat sampai di kelas bawah, apakah pembangunan dijalankan sepenuhnya dan mencover semua lapisan masyarakat hingga strata sosial yang paling bawah.
Sanksi saja yang diberikan tidak bisa menjamin menyelesaikan kondisi sosial. Oleh karena itu hukum Islam sangat pro manusia atau human oriented, karena tujuan hukum Islam bukan hanya untuk kepentingan kehidupan dunia saja, tapi berdimensi akhirat. Orang yang melenggar hukum dalam Islam dipertobatkan dan dia mengakui kesalahannya. Dalam Hukum Islam tidak hanya orang yang tertangkap di pengadilan. Contoh hakim yang tidak melaksanakan hukum dengan hati nurani menjadi obyek hukum sendiri. Hukum Islam melengkapi semua aspek kehidupan termasuk penegakan hukum.

Bahkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Bukhari, Rasulullah bersabda, “Apabila hakim memutuskan perkara dengan berijtihad maka dia akan mendapat dua pahala apabila ijtihadnya benar. Jika ijtihadnya salah, maka dia akan mendapat satu pahala.

Muhammad Julijanto, S. Ag., M. Ag adalah Dosen Fakultas Syari’ah dan Ekonomi Islam IAIN Surakarta

Solopos, 13 Januari 2012, Rubrik Khasanah Keluarga, Hukum Islam Berdimensi Akherat, hlm. IX.

Tinggalkan komentar